Desmond Tutu dan Warisan Rekonsiliasi

Oleh Thomas Ch Syufi*

Pada Minggu, 26 Desember 2021, rakyat Afrika Selatan dirundung duka yang mendalam atas berpulangnya seorang pejuang anti-politik apartheid, aktivis kemanusiaan, tokoh rekonsiliasi, dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1984, Uskup Agung (Emeritus) Desmond Mpilo Tutu dalam usia 90 tahun sehari setelah Natal . Di balik kematian itu, banyak ungkapan dukacita dan penghormatan kepada sosoknya yang dianggap sebagai seorang pahlawan gerakan anti-politik apartheid(diskriminasi rasial).

Penghormatan yang dikirim atas berpulangnya Desmond Tutu itu tidak lain adalah tentang jasa dan pengabdian yang tak mengenal lelah dan pamrih bagi tegaknya keadilan, kesetaraan, dan rekonsiliasi di Afrika Selatan.  Kematian Desmond Tutu secara resmi diumumkian oleh Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa pada hari Minggu(26/12/2021).”Kehilangannya(Desmond Tutu) adalah babak lain dari duka dalam perpisahan bangsa kita dengan generasi Afrika Selatan yang luar biasa yang telah mewariskan Afrika Selatan yang dibebaskan,”  kata Ramaphosa.

Ramaphosa menambahkan bahwa Desmond Tutu adalah seorang patriot tanpa tandingan: seorang pemimpin prinsip dan pragmatisme yang memberi  makna pada wawasan alkitabiah bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Selain Ramaphosa, pemimpin oposisi dari Partai Aliansi Demokratik Afrika Selatan, John Steenhusein mengatakan “ Seorang raksas a Afrika Selatan  sejati telah meninggalkan kita hari ini, tetapi semangatnya akan terus hidup dalam kebaikan sehari-hari yang kita tunjukkan kepada orang Afrika Selatan, dan dalam upaya berkelanjutan kami untuk membangun bersatu, sukses, Afrika Selatan yang non-rasial untuk semua. Ketika kita tersesat, dia adalah kompas moral yang membawa kita kembali.”

Direktur Amnesti Internasional Afrika Selatan, Shenilla Mohamed juga menumpahkan kesedihannya atas berpulangnya Desmond Tutu. Ia mengatakan, komitmen Tutu terhadap hak dan keseteraan untuk semua orang berfungsi  sebagai kompas moral yang sangat dibutuhkan   selama era apartheid yang bergejolak. Bahkan setelah Afrika Selatan memperoleh kemerdekaan tahun 1994, Tutu terus menjadi aktivis HAM yang vokal, energik, dan blak-blakan.

 Desmond Tutu  memang sosok yang tidak pernah merasa takut untuk bersuara tentang masalah HAM. Ia tidak peduli untuk mengkritik siapa pun yang melakukan pelanggaran HAM. Perjuangan untuk hak asasi manusia Afrika Selatan adalah memastikan bahwa kesetaraan bagi semua rakyat Afrika Selatan(tidak ada dominasi ras kulit putih di atas ras kulit hutam, dan sebaliknya) dalam segala aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, dan budaya . Itulah hakikat perjuangan keadilan dan kemanusiaan untuk rakyat Afrika Selatan dari seorang Desmond Tutu.

 Karena warisan yang sangat berharga dalam dimensi hak asasi manusia, Desmond Tutu cukup mendapat tempat yang istimewa di hati warga Afrika Selatan, termasuk komunitas dan pemimpin dunia. Rekam jejaknya tetap jadi memori dan pedoman sejarah yang bernilai tinggi  bagi perziarahan hidup generasi baru Afrika Selatan dan dunia. Hal itu sangat identik dengan apa yang dikatkan oleh Marcus Tullius Cicero(106-43 SM), filsuf, orator, pengacara, dan senator(negarawan) Romawi “Kehidupan orang-orang mati selalu terekam dalam memori orang-orang hidup.”

 Jadi, kematian Tutu juga telah mengundang simpati dan duka yang mendalam bagi banyak pemimpin dunia. Misalnya, Presiden Kenya Uhuru Kenyatta, mengatakan meninggalnya Tutu merupakan pukulan besar tidak  hanya untuk  Republik Afrika Selatan, di mana tempat ia meninggalkan jejak besar sebagai pahlwan anti-apatheid, tetapi juga ke seluruh benua Afrika, di mana ia sangat dihormati dan dirayakan sebagai pembawa damai.”Uskup Agung Tutu mengilhami generasi pemimpin Afrika yang menganut pendekatan non-kekerasaan dalam perjuangan pembebasan,” kata Kenyatta.

Ungkapan yang sama juga datang dari Bernice Raja, putri Martin Luther King Jr(1929-1968), pendeta Baptis Amerika  dan aktivis hak-hak sipil dan politik komunitas kulit hitam juga mengaku sedih setelah mengetahui kematian orang bijak global, pemimpin hak asasi manusia,  dan peziarah yang kuat di bumi.  Selain Bernice,  Presiden AS Joe Biden dan Ibu Negara Jill Biden mengatakan mereka “patah hati” mengetahui kematian Desmond Tutu, sang pelayan sejati Tuhan dan rakyat. “Keberanian dan kejelasan moralnya membantu mengilhami komitmen kami untuk mengubah kebijakan Amerika terhadap rezim apartheid yang represif di Afrika Selatan,” kata Biden.

Inggris sebagai negara yang pernah menjajah Afrika Selatan hingga merdeka tahun 1994, melalui pemimpinnya, Perdana Menteri Boris Johnson, mengatakan “Tutu adalah tokoh penting dalam perang melawan apartheid dan dalam perjuangan untuk menciptakan Afrika Selatan yang baru dan akan dikenang karena kepemimpinan spiritualnya dan humornya yang tak tertahankan,” kata Johnson. Perdana Menteri Norwegia Jonas Gahr  Stoere mengatakan Tutu adalah pria kecil yang hebat dengan menunjukkan kekuatan rekonsiliasi dan pengampunan.”Maksud Tutu adalah bahwa ketidakadilan dan pelecehan tidak boleh dilupakan,  tetapi pada saat yang sama itu tidak boleh dibalas jika suatu masyarakat ingin bergerak,” kata Stoere.

Tutu juga dikenang oleh Wasel Abu Yousef, anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina(PLO), dengan mengingat Tutu sebagai salah satu pendukung terbesar perjuangan Palestina. Ucapan penghormatan yang sama juga datang dari pemimpin umat Katolik sedunia dan kepala negara Vatikan, Paus Fransiskus bahwa Tutu memperhatikan pelayanannya terhadap Injil melalui promosi kesetaraan ras dan rekonsiliasi di negar asalnya, Afrika Selatan, kesuciannya menyerahkan jiwanya kepada belas kasih Allah yang mahakuasa.

Presiden Perancis, Emmanuel Macron mengatakan Tutu telah mempersembahkan hidupnya untuk hak asasi manusia dan kesetaraan di antara orang-orang. “Perjuangannya untuk mengakhiri apartheid dan untuk rekonsiliasi di Afrika Selatan akan tetap dalam ingatan kita,” kata Macron. Penghormatan yang setara datang dari Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador, dengan mangatakan salah satu ucapannya(Desmond Tutu) singkat, tetapi tegas dan benar: “Jika Anda netral dalam situasi ketidakadilan, Anda telah memilih pihak penindas.

 

“ Tutu adalah yang terakhir dari generasi pemimpin yang luar biasa yang dilahirkan dan diberikan Afrika kepada dunia. Dia berdiri teguh dan tak kenal takut, memimpin demonstrasi terselubung dalam jubah pendeta yang mengalir dengan salib sebagai perisainya, perwujudan dari hati nurani manusia,” kata Grace Machel, istri presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, mendiang Nelson Mandela-(Al Jazeera, 26 Desember 2021).

 Memang banyak kenangan soal mediang Uskup Agung Gereja Anglikan Afrika Selatan itu. Tutu wafat setelah menorehkan sejarah emas yang tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidupnya bagi bangsa Afrika Selatan. Pria yang melakoni profesi sebagai guru itu terlahir dari keluarga miskin,  pada 7  Oktober 1931. Tutu sejak kecil sudah terpanggil untuk terlibat secara praktis soal kerohanian. Dari pengalaman itu membawanya untuk belajar teologi dan ditahbiskan menjadi rohaniwan Gereja Anglikan pada 1960.

Perjalanan hidup membuatnya menyaksikan berbagai ketidakadilan yang dialami rakyat Afrika Selatan, terutama perlakukan diskriminasi rasial oleh kaum kulit putih terhadap warga kulit hitam. Kaum kulit putih melanggengkan sistem apartheid dan tetap menindas kaum kulit hitam. Sekian tahun rakyat Afrika Selatan hidup di bawah cengkeraman rezim apartheid dan penindasan yang tak mengenal unsur-unsur kemanusiaan.  Tegasnya, warga kulit hitam hidup tersubordinasi oleh kaum kulit putih. Kaum kulit hitam hidup sinis, inferior dan kaum kulit putih sebagai kelas superior.  

Setelah menyelesaikan studi doktoral di London, Inggris dengan disertasi  tentang Islam di Afrika Barat, Tutu kembali ke Afrika Selatan, menjadi Uskup di Johannesburg dari 1985-1986, hingga menjadi Uskup Agung di Cape Town pada 1986-1996(sebagai orang Afrika pertama yang memegang posisi itu). Dan pada tahun 1980-an, Afrika Selatan ditandai kejolak sosial politik. Rakyat kulit hitam melawan rezim apartheid yang segregatif. Di mana kelompok minoritas kulit putih yang hanya 20 persen dari total penduduk, menguasai 87 persen kemakmuran Afrika Selatan. Situasi ketidakadilan itu memaksa Tutu harus muncul ke publik.

Ia berani keluar dari biara untuk bersuara keras di tengah krisis politik dan kemanusiaan yang melanda Afrika Selatan. Tutu muncul bak cahaya di tengah kegelapan Afrika. Ia bersuara lantang tentang hak asasi manusia warga kulit hitam dengan menuntut kejelasan kebebasan dan kesetaraan. Baginya, bersuara di dalam gereja hanyalah sebuah pesan untuk penguatan iman demi keselamatan kekal, bagi setiap umat manusia(eskatologis). Namun iman tak berarti apa-apa(mati) tanpa dilengkapi dengan perbuatan. Tutu merasa bersuara untuk keadilan dan kesetaraan, serta kebebasan merupakan ritual suci di sebuah katedral yang lebih luas. Kemenangan akan martabat kemanusiaan harus dirayakan!

Ia menentang tindakan pemerintahan apartheid yang menahan tokoh-tokoh Kongres Nasional Afrika Selatan(ANC), karena mereka melawan  politik diskriminasi rasial.  Ia juga menyerukan pembebasan Nelson Mandela, yang kemudian membuat keduanya menjadi sekutu dekat. Tutu tetap teguh pada prinsip non-kekerasan. Karena perjuangan tanpa kekerasan(nirkekerasan) itulah ia diundang Sekjen PBB Kurt Waldheim pada 1981 untuk berbicara soal apartheid di forum PBB.

Tidak lama setelah itu, tahun 1984, Uskup Desmond Tutu dianugerahi Nobel Perdamaian.”Atas perannya menyatukan para pemimpin agar tetap memegang prinsip non-kekerasaan,” kata Komite Nobel. Nobel membawa Tutu menjadi populer  dan pada tahun yang sama, 1984, ia bertemu Presiden AS Ronald Reagen, yang hasilnya adalah Nelson Mandela  sebagai Presiden Afrika Selatan pertama yang dipilih secara demokratis tahun 1994.

Setelah Mandela bertengger di singgasana kursi presiden Afrika Selatan, Desmond Tutu berpesan, jadilah seorang pemimpin pelayan, bukan memegahkan diri. Ia menyebut figur Mandela, Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, dan Dalai Lama sebagai pandanan pas untuk itu.

 Satu tahun  setelah dilantik sebagai Presiden Afrika Selatan, 1995, Mandela menunjuk rekan seperjuangan,  Uskup Agung Desmond Tutu menjadi ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi(KKR). Tugas KKR adalah untuk mengungkap kebenaran atau melakukan penyelidikan: mengumpulkan berbagai bukti dan informasi dari korban dan pelaku pelanggaran HAM masa lalu(selama periode apartheid) sebagai upaya menyembuhkan luka masa, demi mewujudkan cita-cita rekonsiliasi permanen di Afrika Selatan.  

Semoga warisan terpenting Uskup Agung (Emeritus) Desmond Mpilo Tutu ini mengilhami semua pemimpin dunia, termasuk Indonesia juga harus meniru. Hanya dengan pendekatan  rekonsiliasi dan non-kekerasan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan, termasuk melunakkan tindakan kekerasan , juga memutus tali dendaman yang berkepanjangan.

 Jadi, karya Desmond Tutu untuk keadilan, kebebasan, dan kesetaraan ras di Afrika Selatan adalah sebuah panggilan. Setidaknya  Tutu telah mengisi hidup dengan membantu orang-orang yang tidak mendapat kebaikan; keadilan dan cinta. Sebagaimana dikatakan Boethius atau Anicius Manlius Severinus Boethius, filsauf Romawi yang lahir  di kota Roma sekitar tahun 480 yang diberi gelar Santo oleh Gereja Katolik  setelah dihukum mati tahun 525 M,  “Tuhan itu tidak lain adalah berbuat baik(kebaikan) itu sendiri”.

 Dan perjuangan Tutu merupakan sebuah misi untuk menghadirikan wajah Allah yang  penuh belas kasih. Karya ini seperti sebutir gandung yang harus mati untuk menghasilkan banyak buah. Tutu ibarat kutum terindah yang telah dipetik oleh Allah untuk  menghiasi “tamah surga”.  

Kini, Uskup legendaris itu telah pergi dari kita untuk selamanya.”Dia yang telah pergi, tetapi demikianlah kita menghargai kenangan akan dia, berdiam dengan kita, lebih kuat, bahkan lebih hadir dibandingkan orang yang hidup.” Demikian kata Antoine de Saint-Exupery, seorang pilot, penulis, dan penyair Perancis yang lahir 29 Juni 1900 dan hilang  dalam penerbangan di Mediterania(Laut Tengah) 31  Juli 1944! Semoga.

____________________________________________

*) Penulis  adalah Aktivis HAM dan Advokat muda Papua

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak