Benny Wenda Sambut Dukungan TPNPB: Langkah Maju Menuju Persatuan Perjuangan Papua Barat
Oxford, 21 November 2025 – Presiden sementara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, menyambut baik pernyataan dukungan dari Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), Sebby Sambom, dan Kepala Staf Terianus Satto, yang menyatakan pengakuan atas posisinya sebagai Presiden Papua Barat. Pernyataan ini dirilis pada 1 November 2025, di tengah upaya menyatukan berbagai faksi dalam gerakan kemerdekaan Papua Barat.
Dalam pernyataannya, Wenda menyebut dukungan ini sebagai "langkah maju yang besar bagi gerakan kami." Ia menekankan pentingnya persatuan di tengah upaya pihak lawan yang selalu berusaha memecah belah. "Kami tahu musuh kami selalu berusaha memecah belah kami. Kita semua harus bergerak menuju misi yang sama: satu umat, satu jiwa," tulis Wenda dalam pesan resminya.
Pernyataan ini datang di saat yang krusial, mengingat riwayat ketegangan antara ULMWP dan TPNPB. Sejak 2017, TPNPB di bawah pimpinan Goliat Tabuni kerap menolak klaim kepemimpinan Wenda, menyebutnya sebagai "kegagalan" karena berbasis di luar negeri dan tidak melibatkan aspirasi rakyat di lapangan.<grok:render card_id="3d656e" card_type="citation_card" type="render_inline_citation">
<argument name="citation_id">12</argument>
</grok:render> Namun, dukungan terbaru dari Sambom dan Satto menandakan potensi rekonsiliasi, meski belum ada konfirmasi independen dari kedua tokoh tersebut.
Wenda juga menyerukan aksi solidaritas global pada 1 Desember 2025, yang diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Papua Barat sejak proklamasi 1961. Ia mengajak seluruh rakyat Papua Barat, di mana pun berada, untuk menghormati Bintang Kejora—bendera nasional mereka—dengan mengenakan warnanya pada pakaian. "Kita harus menunjukkan kepada penjajah Indonesia bahwa semangat perjuangan adalah bagian dari Papua Barat seperti halnya pakaian yang kita kenakan," tegasnya.
Peringatan 1 Desember mengenang momen bersejarah pada 1961, ketika Dewan Nugini mengangkat Bintang Kejora dan menyanyikan lagu kebangsaan Papua Barat di hadapan enam negara, termasuk Inggris, Prancis, Belanda, dan Papua Nugini. Meski kebebasan itu dirampas oleh invasi Indonesia dua tahun kemudian, tanggal tersebut tetap menjadi hari nasional bagi pendukung kemerdekaan.
Wenda menggambarkan situasi di Papua Barat saat ini sebagai yang terburuk sejak 2019, dengan laporan pembantaian harian, pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan. Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya 15 warga Papua tewas di Intan Jaya, diikuti pengeboman tak henti di Gunung Bintang, pembunuhan anak-anak dan ibu-ibu, serta kerusuhan akibat pelecehan rasis terhadap mahasiswa di Yalimo. Ia juga menyoroti kehancuran lingkungan oleh Presiden Indonesia Prabowo Subianto, khususnya Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke yang disebut sebagai "perkebunan terbesar sepanjang sejarah umat manusia" dan "pembunuh planet" karena deforestasi hutan hujan.
"Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan akan persatuan di antara masyarakat West Papua," ujar Wenda. Ia mendesak rakyatnya untuk bersatu di belakang ULMWP, yang memiliki ribuan perwakilan di seluruh wilayah, sebagai pemerintahan dan konstitusi rakyat. "Kita tidak bisa memiliki harapan untuk menyelamatkan masyarakat atau melindungi hutan jika kita tidak bersatu."
Kepada pendukung internasional, Wenda memohon agar mengibarkan Bintang Kejora pada 1 Desember. "Bendera nasional kami ilegal di negara kami sendiri. Jika kita mengangkatnya, melukiskannya di wajah kita, atau meneriakkan kebebasan di jalanan, kita bisa dipenjara selama dua puluh lima tahun. Kita juga bisa ditembak mati, seperti yang dialami Obert Mirip yang berusia 18 tahun pada bulan Juli," katanya, menekankan perlunya sekutu global.
Pernyataan Wenda ini sejalan dengan seruan solidaritas terbarunya di X (sebelumnya Twitter) pada 20 November 2025, di mana ia mengajak dunia untuk merayakan kemerdekaan Papua Barat dengan mengibarkan bendera atau mengenakan simbol Bintang Kejora.<grok:render card_id="356256" card_type="citation_card" type="render_inline_citation">
<argument name="citation_id">0</argument>
</grok:render> Meski demikian, gerakan kemerdekaan Papua Barat tetap menghadapi tantangan internal dan penolakan dari pemerintah Indonesia, yang menganggap ULMWP sebagai kelompok separatis.
ULMWP terus mendorong agenda internasional, termasuk kunjungan Komisaris Tinggi HAM PBB ke Papua Barat dan pengakuan referendum self-determination. Dukungan dari TPNPB diharapkan memperkuat posisi mereka menjelang peringatan 1 Desember.