Partai Rakyat Mendorong Penghapusan Pasal 156a KUHP Tentang Penodaan Agama
MENINJAU.COM - Agama harus disadari sebagai sesuatu yang kesuciannya tidak pernah berubah kendati ada manusia yang berupaya menodai; menghina, melecehkan dan menistakan agama tersebut. Sebaliknya jika agama mampu dinodai oleh manusia maka sesungguhnya sesuatu yang dianggap agama itu telah batal sebagai agama. Para Penyampai Wahyu Ketuhanan sebagai rujukan nilai-nilai keagamaan di Indonesia, telah memberikan sebuah keteladanan kepada kita tentang bagaimana laiknya bersikap kepada seseorang yang mencoba menghinakan agama. Kendati dihukumi sebagai sebuah dosa–––dalam nilai agama–––tetapi Para Penyampai Wahyu Ketuhanan memberikan keteladanan pemaafan dan menuntun pelaku dalam perbaikan perilaku.
Sebagai negara yang meletakan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila, sudah sepatutnya kita semua meneladani Para Penyampai Wahyu diatas demi kerukunan segenap rakyat Indonesia. Jika kita meneladani sikap Para Penyampai Wahyu di atas maka keakraban warga negara menjadi keniscayaan. Sayangnya kondisi di atas menjadi semacam utopia sejak kita memilih untuk melahirkan Pasal 156 huruf a KUHP yang bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang tidak spesifik, multitafsir dan bias mayoritas-minoritas pada tatanan penerapannya.
Pada prakteknya seringkali pasal 156a KUHP tersebut lekas berfungsi jika dikaitkan dengan dugaan adanya trial by mob (desakan) oleh golongan penganut agama mayoritas. Dan seringkali dugaan sebaliknya muncul jika kasus serupa terjadi kepada penganut agama minoritas. Begitu banyak rakyat Indonesia yang merasa kebingungan saat penerapan pasal itu ditujukan kepada seseorang yang sebagian rakyat Indonesia menganggap “pelaku” tidak sedang menghina, menodai, menistakan agama tertentu. Dan pasal 156a KUHP dianggap sering dijadikan senjata politik dalam kontestasi politik.
Selain membingungkan dalam proses penerapannya, ketidakjelasan tafsir pada pasal 156a KUHP membuat perdebatan dan pembelahan di tingkat rakyat karena masing-masing memiliki tafsirnya sendiri-sendiri atas pasal tersebut. Dan yang paling ironis ialah bias mayoritas-minoritas kemudian membuat seseorang seringkali menerapkan standar ganda terhadap persoalan yang sesungguhnya memiliki nilai yang sama. Kita ambil contoh yang paling muktahir, pengrusakan sesajen di gunung semeru oleh oknum dari agama mayoritas, seringkali justru dihukumi sebagai sebuah kebenaran oleh golongan dari agama mayoritas tersebut, tak terkecuali oleh tokoh intelektual dan cendekiawannya. Padahal jelas-jelas pengrusakan itu adalah sikap anti Kebhinekaan dan bukankah anti Kebhinekaan adalah benih-benih dari terorisme dan separatisme? Kalau bukan dengan adagium “Bhineka Tunggal Ika”, lalu dengan apa lagi kita mampu mengikat keberagaman di Indonesia.
Kalau kita kembalikan makna Ketuhanan pada sila pertama, jelas sila itu ditujukan bukan hanya untuk penganut agama mayoritas. Mengutip pidato Presiden Soekarno di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke XV pada 1960 di New York, Amerika Serikat : “Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini, dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima Sila pertama ini.”
Jelas sekali dari pidato Beliau–––sebagai penggali dan penggagas Pancasila mula-mula–––sila pertama pada Pancasila tersebut berlaku untuk segenap rakyat Indonesia demi menjaga kerukunan rakyat Indonesia dalam menganut dan menerapkan keyakinan masing-masing individu dan golongan. Tafsir ini lahir dari kalimat yang menggambarkan tentang eksistensi golongan agnostik “….dan ada yang tidak menganut sesuatu agama”, dan ateis “..mereka yang tidak percaya kepada Tuhanpun”. Jika kita mengacu pada pasal 29 UUD 1945, kita juga akan menemukan makna yang sama sebab pasal itu bersifat fakultatif karena meletakan agama sebagai hak, bukan kewajiban.
Ketuhanan adalah hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan dan letaknya sangat individual. Tugas negara melindungi segenap rakyat Indonesia dalam perjalanan spiritualnya. Maka dengan demikian Partai Rakyat mendorong untuk penghapusan pasal 156a KUHP sesegera mungkin, dan selama pasal itu belum dihapus, kami meminta untuk seluruh rakyat Indonesia untuk merekonstruksi pikirannya agar tidak menggunakan standar ganda dalam penerapannya. Dan dengan ini kami tegaskan: jangan pernah coba-coba melepaskan nilai-nilai Pancasila dengan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika demi keutuhan Republik Indonesia.
Salam Rekonstruksi Total
14 Januari 2022