Polemik Revisi Undang-Undang Otsus Papua


(Menyikapi Pengajuan permohonan uji materi Pasal 77 UU 21/2001 Tentang Sengketa 
Kewenangan Konsititusional Lembaga Negara (SKKLN) di Mahkamah Konstitusi
Yang Diajukan oleh MRP dan MRPB)

Oleh : Laode M Rusliadi Suhi, SH.,MH.

Akhir-akhir ini, pasca akan disahkan rencana revisi terbatas otsus yaitu pasal 34 dan 76 UU 
Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, tahun 2021, Berbagai 
polemik terjadi dimasyarakat antara lain pro konta menyikapi persoalan revisi Otsus, 
gelombang demonstrasi yang berkembang diberbagai daerah baik di Pusat, di Papua, dan di 
daerah-daerah lainnya, polemik Rapat Dengar Pendapat (RDP) MRP dan MRPB, polemik 
kondisi meninggalnya beberapa tokoh Papua yang dikaitkan dengan berakhirnya Pasal 34 UU 
No. 21/2001, polemik terjadinya penembakan oleh (kelompok kriminal bersenjata) KKB dan 
aparat keamanan RI dibeberapa daerah di Papua, polemik persoalan HAM yang tak berujung 
dan lain-lain. Sehingga berbagai polemik yang terjadi di Papua tersebut akan dengan mudah 
direspon oleh berbagai organisasi yang konsen terhadap isu Papua didunia internasional 
dikarenakan sejarah Papua berstatus Integrasi.

Polemik-polemik tersebut mewarnai Pembahasan revisi terbatas UU Otsus Papua yang kini 
telah dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR RI yang dinahkodai oleh Bpk. Komarudin
Watubun yang merupakan daerah pemilihan Papua bersama Pemerintah pusat yang diwakili 
oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Hukum dan HAM. 
dimana hal tersebut yang akan dilakukan revisi terbatas yaitu Pasal 34 yang menjeleskan 
tentang batas waktu berakhirnya pendanaan otsus selama 20 tahun oleh pemerintah pusat 
kepada Papua, berdasarkan amanat konstitusi. Dan kemudian Pasal 74 tentang pemekaran 
daerah yang menimbulkan perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan kalangan 
akademisi, praktisi serta tokoh masyarakat khususnya di Papua. seyogyanya mengenai 
pemekaran daerah harus lebih terarah agar bisa mengatur pemekaran daerah di Papua, baik 
pemekaran provinsi maupun pemekaran kabupaten/kota. Jika kemudian hal ini menjadi 
keterkaitan antara Pasal 34 dan 76 yang bersifat mendesak tentu pemerintah pusat harus ada argumentasi hukum yang jelas, mengapa kedua Pasal tesebut direvisi, sehingga tidak 
menimbulkan multitafsir di masyarakat khususnya masyarakat Papua, yang berdampak 
menjadi Issue “liar” dimasyarakat. Jika berbicara pada konteks pemekaran daerah Papua tentu 
merujuk pada pada 2 (dua) Undang-Undang yaitu, UU No 23 Tahun 2014 Tentang 
Pemerintahan Daerah dan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Papua.

Sebelumnya pada bulan juli tahun 2019 lalu, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam 
Negeri telah menyampaikkan kepada pemerintah Daerah provinsi Papua melalui Surat Menteri 
Dalam Negeri perihal usulan perubahan/revisi UU No. 21 Tahun 2001 Jo UU No. 35 Tahun 
2008, yang pada intinya menjelaskan tentang Pasal 34 UU 21/2001 dan meminta pemerintah 
daerah Papua untuk melakukan evaluasi dan pemetaan terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus 
yang telah berjalan, dan kemudian Pemerintah Daerah melalui Gubernur Papua menanggapi
surat tersebut dengan memberikan penjelasan terhadap pasal 77 tentang kewenangan revisi UU 
21/2001 ada pada masyarakat Papua. tanggapan gubernur Papua bukan tanpa alasan 
dikarenakan sebelumnya melalui tulisan penulis beberapa waktu yang lalu menyikapi 
persoalan RDP MRP sempat menyinggung soal kekecewaan pemerintah Daerah Papua pada 
tahun 2014 terhadap Pemerintahan Pusat dimana revisi tersebut ditolak oleh DPR RI.

Belum lama ini tanggal 17 juni 202l, melalui laman website Mahkamah Konstitusi terlihat 
bahwa Lembaga MRP dan MRPB yang diwakili Tim kuasa hukum mengajukan permohonan 
uji materi pasal 77 UU 21/2001 terkait Sengketa Kewenangan konstitusional Lembaga Negara 
(SKKLN) di Mahkamah Konstitusi terdiri dari 60 halaman. Dalam konteks sengketa 
kewenangan dalam UU 21/2001 tentang Otsus Papua bukan pertama kali terjadi, dari catatan 
penulis, sebelumnya tahun 2012 juga pernah terjadi antara lembaga KPU RI dengan Lembaga
DPRP dan Gubernur Papua terkait Sengketa Kewenangan konstitusional Lembaga Negara 
(SKKLN) dalam kewenangan penentuan syarat calon kepala daerah (Gubernur dan wakil 
Gubernur Papua) saat itu. Dalam menyikapi perkara permohonan pengujian Pasal 77 UU 
21/2001 yang diajukan oleh Lembaga MRP/MRPB (melalui Kuasa Hukum) terkait Sengketa 
Kewenangan konstitusional Lembaga Negara (SKKLN) di Mahkamah Konstitusi 17 Juni 
2021, ada beberapa persoalan yang menjadi catatan penulis antara lain: 

• Pemaknaan tentang revisi terbatas dan revisi menyeluruh terhadap UU Otsus Papua,
jika menyangkut persoalan terbatas dan tak terbatas, yang dilihat adalah ketentuan 
masa berlaku (batas waktu) suatu peraturan perundang-undangan; dimana suatu 
undang-undang secara menyeluruh tersebut mempunyai masa berlaku maka hal tersebut tentunya bertentangan dengan asas hukum dalam suatu perundang-undangan 
yang disebut asas non-retroaktif asas ini melarang adanya berlaku surut suatu Undang�Undang secara menyeluruh, hal tersebut bertujuan untuk penegakkan hukum bagi 
masyarakat, sehingga semua undang-undang yang ada tidak berlaku surut;
• jika menyangkut persoalan terbatas dan tak terbatas, yang dilihat dalam konteks
komponen jumlah, maka Pasal-Pasal yang akan direvisi atau diubah sah; hal tersebut 
tidak bertentangan sepanjang mempunyai dasar hukum yang jelas dan tidak 
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang ada;
• Terhadap isi materi dalam suatu Undang-Undang menyatakan batas ketentuan waktu 
yang menjelaskan batas waktu untuk dilakukan evaluasi bukan berarti Undang-Undang 
secara menyeluruh dilakukan revisi menyeluruh artinya jika isi suatu peraturan 
didalamnya memiliki masa waktu berlaku, maka status isi peraturan (pasal) yang 
menjelaskan hal yang lebih spesifik tersebut akan berlaku surut, artinya masa 
berlakunya ada pada isi suatu peraturan menjadi kadaluarsa sehingga dinggap tidak 
berlaku dan tidak sah,;
• Terkait Undang-Undang Otsus Papua sendiri secara komperhensif tidak ada batas 
waktu keberlakuannya, artinya jika dibutuhkan revisi menyeluruh atau perubahan total 
sah dan konstitusional, sepanjang ada kesepakatan semua komponen masyarakat Papua 
dan juga ada political wil antara Jakarta dan Papua karena produk suatu Undang�Undang bermuatan politik dan hukum;
• Ketentuan hukum melalui Undang Undang maupun Peraturan MK telah menjamin 
setiap Lembaga Negara yang mencari kepastian hukum atas kewenangannya 
menjalankan fungsi dan tugas, hal tersebut dapat diajukan Oleh Lembaga Negara 
tersebut sepanjang dianggap klausul dalam suatu Undang Undang telah terjadi 
multitafsir sehingga dibutuhkan untuk mendapatkan kepastian hukum melalui lembaga 
hukum yang diamanatkan konstitusi melalui putusan hukum; 
• terhadap pihak/Lembaga yang merasa dirugikan selaku pemohon lembaga negara atau 
Pemerintahan daerah adalah Papua dan papua barat dimungkinkan pengujian di MK 
sebagaimana UU 21/2001 dan UU/Peraturan MK; 
• Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa 
wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945.; 
• Bahwa terkait ketentuan Pasal 77 UU 21/2001 yang akan diuji melalui MK tentang 
persoalan kewenangan yang menyatakan, “Usul perubahan atas Undang-undang ini 

dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau 
Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. 
• Bahwa mengenai kewenangan mengusulkan revisi tersebut telah menjadi multitafsir 
yang merujuk pada Frasa pasal 77 yaitu "Usul perubahan UU ini" dimaknai sebagai 
perubahan yang timbul atas dasar inisiatif bersama Rakyat Papua hal tersebut jika 
dimaknai sifatnya tak terbatas harus ada political wil dari semua komponen masyarakat 
Papua, sementara pemerintah pusat dan DPR RI merujuk pada pasal 34 tentang 
berakhirnya pemberian dana otonomi khusus tahun 2021 yang bersifat terbatas 
sehingga dipandang perlu untuk dilakukan evaluasi penerimaan Dana Alokasi Umum 
Otonomi Khusus, kemudian ditambahkan pasal 76 terkait pemekaran wilayah Papua 
sehingga dimaknai sebagai revisi terbatas (pasal 34 dan 76 UU 21/2001); 
• Bahwa frasa lain menyatakan " sesuai dengan peraturan perundang-undangan” hal 
demikian menjadi bias dan multitafsir sehingga jika terkait dengan kewenangan yang 
mencakup revisi terbatas UU 21/2001 tersebut adalah dapat juga dimaknai sebagai 
kewenangan lain melalui UU lain, pemerintahan pusat bisa saja memaknai dengan 
menggunakan kewenangannya yang lebih tinggi Misal sebagaimana Undang Undang
MD3 dan Undang Undang Pemerintahan Daerah yang merujuk pada UUD 1945 ; 
• Bahwa perkara aquo yang diajukan di MK tersebut dipandang tidak efektif dikarenakan 
secara materi maupun formil terhadap peraturan UU 21/2001 ini, sedang dalam 
pembahasan antara Pemerintah dan DPR RI dan telah masuk dalam Prolegnas dalam 
revisi Terbatas yang akan berakhir dibulan juli 2021, meskipun Pemohon (MRP & 
MRPB) meminta dalam putusan sela untuk menghentikan pembahasan. 

Dengan demikian berdasarkan catatan diatas tanpa bermaksud mendahului putusan hakim, dan 
tanpa mengurangi pendapat hukum yang lain, maka tentunya penulis menyampaikkan 
kesimpulan, jika merujuk pada kedudukan hukumnya (Legal Standing) atas permohonan 
Perkara Aquo, penulis berpendapat kemungkinan memenuhi syarat. namun dalam pokok 
perkara jika dilihat secara umun tidak memenuhi alasan formil maupun materiil sehingga 
kemungkinan besar dapat dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara 
Sengketa Kewenangan Konsitusional Lembaga Negara (SKKLN) di Mahkamah Konstitusi 
yang diajukan Oleh MRP dan MRPB melalui Mahkamah Konstitusi. 

Salam Perjuangan !

Penulis adalah Praktisi/Pengamat Hukum Pemerintahan Daerah
Ads1

BERITA

Ads2