Di Kalimantan Timur, anggaran miliaran rupiah digelontorkan tiap tahun untuk kendaraan dan uang perjalanan dinas para pejabat. Tapi warga, terutama di kota-kota seperti Samarinda dan Balikpapan, harus berjuang dengan kendaraan tua angkutan kota, tarif mahal, dan waktu tunggu lama. Di mana keadilan mobilitas bagi masyarakat?
Transportasi bukan sekadar alat untuk pindah tempat. Transportasi adalah layanan publik penghubung kehidupan warga — dari rumah ke sekolah, ke tempat kerja, ke pasar, hingga ke rumah sakit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menegaskan, mobilitas adalah kebutuhan dasar demi pemenuhan hak hidup yang lebih luas.
Namun di Indonesia, transportasi bukanlah layanan wajib dasar, hingga kerap diposisikan hanya sebagai pelengkap pembangunan. Padahal, sektor ini menyumbang 30% aktivitas ekonomi nasional. Di Kalimantan Timur, dampaknya sangat terasa: sekitar 80% Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi ini berasal dari sektor transportasi, khususnya dari pajak kendaraan, bea balik nama, dan pajak bahan bakar.
*Anggaran Fantastis Transportasi Pejabat*
Data Diskominfo Kaltim tahun 2025 mencatat, pendapatan dari sektor transportasi di tahun 2023 mencapai Rp 8,39 triliun — mendominasi PAD Kaltim yang sebesar Rp 10,88 triliun. Namun ironisnya, tidak ada anggaran untuk layanan angkutan umum, sementara alokasi besar disediakan untuk anggaran pengadaan dan operasional kendaraan serta biaya perjalanan dinas pejabat daerah.
Mengacu pada Peraturan Gubernur Kaltim dan Permen Keuangan terkait, rata-rata biaya satu kendaraan dinas pejabat bisa mencapai miliaran rupiah, belum termasuk pemeliharaan dan bahan bakar tahunan. Bila dijumlahkan, total biaya transportasi pejabat seluruh Kalimantan Timur diperkirakan menembus Rp 825 miliar per tahun.
Sebagai contoh, Pemprov. Kaltim saja mengalokasikan lebih dari Rp 420 miliar per tahun hanya untuk kendaraan pejabatnya. Kabupaten atau kota juga tak ketinggalan. Rata-rata setiap pemda kabupaten menghabiskan lebih dari Rp 40 miliar per tahun, sementara pemkot mencapai Rp 41 miliar per tahun untuk urusan yang sama.
Belum lagi aturan Kemenkeu untuk biaya hotel yang mencapai Rp 9 juta per malam. Belum uang sakunya.
*Transportasi Warga? Jalan Sendiri, Bayar Sendiri*
Bandingkan dengan realitas transportasi masyarakat di Samarinda dan Balikpapan, dua kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di provinsi ini. Penelitian tahun 2021–2022 mencatat _load factor_ angkot hanya berkisar 25–40%, artinya angkot jarang penuh, sehingga pendapatan operator minim sementara biaya operasional mahal, sehingga mereka _ngetem_ di pusat pusat keramaian untuk memperoleh pendapatan, dan akhirnya layanan tidak dapat dihandalkan dan warga pun makin malas naik angkutan.
Tarif angkot di Kaltim saat ini mencapai Rp 5.000 sekali jalan. Namun karena menurunnya jumlah armada dan lama waktu tunggu — bisa sampai 30 menit — banyak warga beralih ke ojek _online_ (ojol) yang lebih praktis meskipun biayanya tak jauh beda bahkan lebih mahal.
Riset lanjutan oleh Gultom dan Surya (2023) menunjukkan, 90% keluarga Samarinda memiliki minimal satu motor, dan sekitar 40% bahkan punya dua. Akibatnya, rata-rata biaya transportasi rumah tangga mencapai Rp 2 juta per bulan. Padahal, penghasilan mereka rata-rata Rp 5 juta. Artinya, 40% pendapatan keluarga habis untuk transportasi — jauh dari ideal.
> "Jika proporsi biaya transportasi bisa ditekan ke 20%, masyarakat bisa menghemat Rp 1 juta setiap bulan — uang yang bisa dialihkan ke pendidikan atau kesehatan anak," ujar Dr. Tiopan H.M. Gultom, akademisi transportasi dari Universitas Mulawarman.
*Kebijakan Harus Berpihak ke Rakyat*
Masalah ini bukan hanya soal ketimpangan angka, tetapi ketimpangan keberpihakan kebijakan anggaran. Di satu sisi, pejabat mendapatkan kendaraan mewah dan biaya operasional penuh dari negara. Di sisi lain, masyarakat harus menanggung sendiri seluruh ongkos mobilitasnya — tanpa jaminan transportasi umum yang layak.
Bahkan, riset dari Cornell University (Liu et al., 2023) menunjukkan bahwa rumah tangga berpendapatan rendah di kota besar cenderung bermobilitas lebih sedikit, menempuh jarak lebih pendek, dan menghabiskan waktu lebih lama di perjalanan. Mobilitas terbatas ini berdampak negatif pada kesempatan kerja dan penghasilan.
*Solusi: Reformasi Anggaran Transportasi Daerah untuk Angkutan Umum*
Pemerintah daerah perlu segera melakukan koreksi arah kebijakan.
MTI Kaltim mengusulkan rencana aksi konkret berikut:
1. Memaasukkan program pengembangan angkutan umum dalam RPJMD sebagai indikator kinerja kepala daerah.
2. Mengalokasikan dana PKB, BBNKB, dan opsen untuk membiayai layanan angkutan umum
3. Mengalihkan belanja mobil dinas untuk mereformasi dan modernisasi angkot
4. Menciptakan skema insentif berbasis kinerja kepada operator angkot yang mrmperbaiki layanan sesuai Standar Pelayanan Minimum (SPM) baru.
5. Meningkatkan kualitas prasarana angkutan umum seperti halte, pedestrian, dan penyeberangan jalan, memperbaiki fasilitas konektivitas antar moda, sesuai dengan karakter lokal.
Reformasi angkutan umum ini tidak hanya penting untuk menciptakan keadilan fiskal, tapi juga untuk membangun sistem mobilitas baru yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara inklusif.
"Saatnya pemerintah tidak hanya membangun jalan untuk kendaraan para pejabat, tapi juga memastikan agar jalan yang dibangun dapat dimanfaatkan dengan efisien melalui layanan angkutan umum untuk kehidupan rakyat yang lebih baik," tutup Gultom, yang juga menjabat sebagai Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Kalimantan Timur sejak 2024.
_*Tiopan H.M. Gultom*, Ketua MTI Wilayah Kalimantan Timur_
Social Header