Opini: Bagaimana Mempercepat Terciptanya kebijakan di Papua ?

Oleh Agus Sumule
dari Universitas Papua

Latar Belakang

Dalam kurang lebih dua tahun belakangan ini telah terjadi perubahan-perubahan penting di Tanah Papua.  Mungkin tidak pernah ada perubahan semendasar yang telah dan sementara berlangsung sekarang.  UU Otsus Papua telah diubah untuk kali kedua dengan UU Nomor 2 Tahun 2021. Peraturan turunannya, yaitu PP 106/2021 dan PP 107/2021 pun telah dibentuk.

Sejumlah Daerah Otonom Baru (DOB) tingkat provinsi dibentuk.  Papua tidak lagi satu entitas seperti ketika ia dibentuk dengan UU Nomor 12 Tahun 1969, atau UU 2 Tahun 2021, atau dua entitas dengan Otonomi Khusus seperti sesudah dibentuknya UU Nomor 35 tahun 2008.  Papua sekarang telah menjadi 6 (enam) provinsi.  Masing-masing memiliki hak dan kewenangan yang sama, dan melapor sendiri-sendiri ke Jakarta.

Selain itu, pemerintah telah membentuk Badan Pengarah Percepatan Otonomi Khusus Papua, disingkat BP3OKP, yang dipimpin oleh Wakil Presiden.  Selain beranggotakan Mendagri, Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas, Badan ini juga diisi oleh satu orang anggota yang berasal dari setiap provinsi di Tanah Papua.   Bappenas juga telah menghasilkan dokumen Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua Tahun 2022-2041 yang ditetapkan dalam bentuk Peraturan Presiden.  

Dari segi dana pembangunan, secara total jumlahnya pun meningkat, khususnya yang lazim disebut Dana Otsus Papua –  dari sejumlah 2% setara dengan plafon DAU nasional, menjadi 2,25%.  

Tentu Pemerintah Pusat berharap, bahwa dengan semua perubahan-perubahan ini, keadaan di Papua akan berubah.  Kebajikan bisa dirasakan dan dinikmati oleh orang-orang asli Papua yang merupakan subjek utama dari semua kebijakan yang diberlakukan di sana.  Waktu yang `diberikan’ pun tidak lama – hanya 20 tahun ke depan sejak tahun 2021.

Situasi hari ini

Sebelum Papua dimekarkan menjadi DOB, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di Provinsi Papua sudah mencapai 60,44 – pindah dari posisi rendah ke sedang.  Provinsi Papua Barat sudah mencapai 65,09.  Melalui pemekaran, sejumlah provinsi tampak `naik’ IPM-nya dibandingkan Provinsi Induk sebelumnya.  Misalnya Provinsi Papua (baru) 66,96 dan Provinsi Papua Selatan 60,53.  Tetapi, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan turun jauh menjadi hanya 55,72 dan 47,86.
Demikian pula dari segi tingkat kemiskinan.  Pemekaran provinsi menjadi DOB-DOB tetap menempatkan ke-6 provinsi di Tanah Papua terendah di Indonesia.  Rata-rata tingkat kemiskinan Indonesia sudah turun menjadi 9,54%.  Sementara di Tanah Papua tingkat kemiskinannya adalah Papua 26,86; Papua Selatan 20,24; Papua Barat 26,41; Papua Barat Daya 24,07; Papua Tengah 32,35; dan Papua Pegunungan 35,46.

Angka-angka IPM dan Tingkat Kemiskinan seperti yang dikemukakan di atas menunjukkan, bahwa urgensi untuk melakukan percepatan pembangunan di Tanah Papua menjadi jauh lebih mendesak dibandingkan di waktu lalu.  Ini salah satu contohnya: pada tahun 2021 penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah di seluruh Tanah Papua diperkirakan berjumlah 620.724 orang.  Angka ini diperoleh dengan menganalisis data-data Angka Partisipasi Murni yang resmi dikeluarkan oleh Kemendikbudristek.  Jumlah anak yang tidak bersekolah itu tidak/belum menjadi lebih sedikit sesudah hampir dua tahun UU 2 Tahun 2021 disahkan, namun terus bertambah.  

Dari segi pembangunan kesehatan, situasinya juga masih belum banya berubah.  Masih sangat banyak kampung yang tidak memiliki bidan untuk membantu para ibu OAP menikmati pelayanan kesehatan reproduksi yang diharapkan.  Masih banyak distrik yang tidak memiliki Puskesmas, atau puskesmasnya tidak berfungsi dengan baik karena ketiadaan/keterbatasan SDM kesehatan.  Padahal, `rumus’ yang harus digunakan adalah: 1 kampung 1 bidan; dan 1 distrik 1 puskesmas yang fungsional.
Hal lain yang jarang dibicarakan adalah, bahwa akibat dari membanjirnya migrasi masuk, maka telah terjadi perubahan struktur demografi di banyak tempat.  Jumlah OAP di Provinsi Papua Barat Daya hanya mencapai 39,92% apabila kita berpedoman pada hasil perhitungan Dinas Dukcapil Papua Barat dan BPS yang dikirimkan ke Kementerian Keuangan.  Di Provinsi Papua (lama) telah diketahui sejak hasil Sensus Penduduk 2010 diumumkan, bahwa OAP di kabupaten-kabupaten Mimika, Nabire, Merauke, Keerom dan Kota Jayapura telah minoritas. Tentu diperlukan pemikiran dan hikmat tersendiri untuk merumuskan bagaimana pengelolaan Otonomi Khusus Papua di daerah-daerah yang OAP-nya telah minoritas. 

Apa yang harus dikerjakan supaya kebajikan bertumbuh di Papua?

Ketika Bapak Barnabas Suebu memimpin Provinsi Papua sebagai Gubernur, saya membantu beliau sebagai Staf Ahli.  Selama 5 (lima) tahun saya belajar dari beliau tentang Kata-kata Kunci Pembangunan Papua.  Kata-kata kunci itu saya yakini masih merupakan pintu masuk yang untuk menumbuhkan kebajikan di Papua.  Kata-kata kunci ini haruslah menjadi kebijakan Pemerintah.  Sebagian dari kata-kata kunci itu saya kemukakan berikut ini:

1. Kampung:  Fokus perhatian haruslah pada masyarakat kampung, karena di kampung bermukim OAP.  Sebanyak-banyaknya Dana Otsus harus dilakukan di kampung-kampung.  Pada tahun 2006 sampai 2011 dilakukan RESPEK di Provinsi Papua, Rencana Strategis Pembangunan Kampung.  Dana yang diturunkan hanya Rp 100 juta per kampung pada awalnya. Dana itu dikelola oleh masyarakat kampung (bukan oleh satu-dua orang aparat pemerintah kampung) melalui panitia-panitia dan didampingi oleh para sarjana pendamping.  Selain itu, semua SKPD diwajibkan untuk membuat program untuk kampung, khususnya SKPD-SKPD yang bertanggung jawab untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur kampung (perhubungan, energi listrik, air bersih, dan telekomunikasi).  Ada koordinasi yang erat antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten di dalam mewujudkan pembangunan kampung.  Pendekatan seperti itu haruslah dimulai kembali dan dikembangkan ke depan.  Dana Desa yang diturunkan oleh Pemerintah Pusat sangat besar.  Di Provinsi Papua Pegunungan jumlahnya lebih besar dari Dana Otsus.  Total Dana Desa di Provinsi Papua Pegunungan sebesar Rp 2,1 triliun, sementara Dana Otsus Rp 1,7 triliun pada tahun 2023.  

2. Pemerintahan Distrik:  PP 106/2021 mengamanatkan tentang pentingnya me-revitalisasi pemerintah distrik.  Berapa pun jumlah provinsi dibentuk di Tanah Papua, jarak sosialnya dengan masyarakat kampung tetap sangat jauh.  Jadi, seharusnya pemerintah distrik dengan kewenangan dan anggaran, sehingga kehadiran negara bagi OAP, khususnya di kampung-kampung, bisa dirasakan melalui program-program pembangunan yang nyata.  

3. Penghormatan akan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam:  Hal apa yang apabila dilaksanakan akan menyelesaikan banyak masalah di Papua?  Jawabannya adalah kebijakan negara yang memungkinkan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam, termasuk tanah, dihormati oleh semua pihak.  PP 106/2021 telah memuat pengaturan tentang upaya ini.  Tetapi, kebijakan yang sangat baik tersebut harus ditindaklanjuti dengan hal-hal nyata di lapangan.  Wujud yang paling nyata adalah menghentikan pembelian/penjualan tahan adat dan menggantikannya dengan sistem sewa yang dikaitkan dengan pembentukan Dana Abadi Masyarakat Adat.  Dana Abadi yang berasal dari sistem sewa itu perlu ditetapkan dalam Peraturan Daerah, sehingga benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat adat yang hidup sekarang maupun akan datang.  

4. Guru:  Memecahkan masalah pendidikan di Papua hanya bisa dilakukan apabila guru tersedia.  Papua kekurangan 20.898 orang guru (tahun 2021).  Angka ini hanya untuk sekolah-sekolah yang sudah ada sekarang.  Padahal, seperti dikemukakan di atas, ada lebih dari 620.000 orang penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah hari ini.  Mereka pun membutuhkan guru untuk mendidik mereka.  Belum lagi guru untuk melayani peningkatan penduduk dewasa (25 tahun ke atas) yang RLS (rata-rata lama sekolahnya) sangat rendah.  RLS yang rendah inilah faktor utama yang membuat termarginalkannya OAP dalam merebut kesempatan kerja yang tercipta akibat investasi di Tanah Papua.  PP 106/2021 sudah mengamanatkan tentang perlunya memberlakukan kebijakan khusus pengadaan tenaga guru, dengan sedapat mungkin merekrut putra-putri Papua yang berkompeten dan siap dilatih untuk menjadi guru.  Kemendikbudristek sementara menyiapkan Permen tentang Pendidikan Guru di Tanah Papua.  Permen ini perlu segera diselesaikan dan diberlakukan, karena, apabila terlambat, maka prosesnya harus menunggu tahun akademik baru.  Selain itu, Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah harus menghitung dan menyediakan dana bagi tenaga-tenaga guru tersebut.  Harus ada keputusan Pemerintah untuk segera memulai pendidikan guru ini di lokasi-lokasi tertentu di Tanah Papua.  Sebaiknya, Bapak Wapres meresmikan lembaga-lembaga pendidikan guru ini dalam waktu dekat.

5. Bidan dan kader kesehatan: Masalah kesehatan di tingkat kampung, seperti gizi bagi Ibu hamil, kematian bayi, gizi bayi, stunting, dll hanya bisa diselesaikan apabila bidan tersedia di setiap kampung.  Karena ketersediaan bidan masih sangat kurang, maka jalan yang harus ditempuh adalah melakukan pelatihan kader-kader kesehatan reproduktif.  Hal ini sudah pernah dilakukan di waktu lalu, baik pada zaman pemerintahan Belanda, maupun oleh pemerintah orde baru.  Di setiap kampung di Papua pasti ada lembaga keagamaan, khususnya gereja.  Dari setiap gereja ini perlu direkrut beberapa orang ibu/perempuan untuk dilatih menjadi kader kesehatan.  Merekalah yang kemudian menyelenggarakan program-program penting untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil dan bayi, seperti menyelenggarakan Posyandu, di bawah koordinasi bidan yang sekarang masih terbatas jumlahnya tersebut.

6. Pasar: Yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan pasar untuk menampung hasil kegiatan ekonomi rakyat di kampung-kampung.  Itu berarti setiap kabupaten/kota harus memiliki BUMD yang handal, yang tugas utamanya adalah menjadi tangan pemerintah dalam membangun perekonomian kampung.  Kementerian BUMN seharusnya juga membina BUMD dan BUMDes sehingga perekonomian rakyat bisa bergerak.

7. SSH (Sekolah Sepanjang Hari):  Ini adalah pendekatan baru yang perlu diberlakukan di setiap sekolah.  Hingga saat ini banyak pihak masih berbicara tentang Sekolah Berpola Asrama. Masalahnya, sekolah berpola asrama hanya bisa menjangkau sangat sedikit siswa.  Tidak mungkin menyediakan sekolah berasrama untuk semua siswa.  Padahal, sesuai UUD 1945, setiap penduduk usia sekolah berhak memperoleh pendidikan yang bermutu.  Jalan keluarnya adalah dengan menyelenggarakan SSH, khususnya di kampung-kampung.  Para murid datang lebih pagi, mandi di sekolah, mengenakan seragam dan sepatu di sekolah, sarapan di sekolah, memperoleh pembinaan/siraman rohani di sekolah, kemudian belajar normal, makan siang di sekolah, dan mengerjakan PR serta memperoleh pelajaran tambahan di sekolah.  Mereka pulang sore hari ke rumah.  Sekolah-sekolah jelas harus dilengkapi dengan air bersih, listrik, internet, perpustakaan yang baik, dan fasilitas lainnya.  SSH dikerjakan bersama-sama dengan masyarakat.  Para Ibu di kampung yang bertugas menyiapkan makanan yang sehat dan mencuci/menyeterika pakaian sekolah anak-anak.  SSH dengan demikian bisa menjadi alat yang ampuh untuk mendinamisasi pendidikan di kampung-kampung karena masyarakat ikut serta bertanggung jawab bagi keberhasilannya.

8. Pendidikan remedial: Dalam jangka pendek pendidikan remedial/matrikulasi harus dilakukan bagi para lulusan SMA/SMK di Papua yang berminat untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.  Mutu pendidikan menengah sangat tidak merata di seluruh Papua.  Melalui pendidikan remedial, para lulusan SMA/SMK bisa dilatih dan ditingkatkan kompetensi akademik, integritas dan kesamaptaannya selama setahun (dua semester).  Sesudah lulus dari pendidikan remedial ini, mereka pasti lebih siap dan mampu untuk lulus seleksi pendidikan masuk perguruan tinggi, baik perguruan tinggi umum maupun berbagai sekolah kedinasan.

9. Beasiswa LPDP khusus Papua: Kementerian Keuangan melalui LPDP selama ini memberikan beasiswa untuk pendidikan S2/S3.  Telah ada alokasi khusus bagi Papua.  Disarankan agar alokasi itu juga diberikan bagi OAP lulusan SMA/SMK yang unggul sehingga mereka bisa melanjutkan pendidikan ke luar negeri pada bidang-bidang yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Pemerintah.  Ini adalah bagian dari upaya mempercepat peningkatan mutu SDM Papua.  Untuk menjamin keberhasilan para lulusan SMA/SMK tersebut, LPDP bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang telah terbukti berpengalaman dan berhasil selama ini menyiapkan para lulusan SMA/SMK dari Tanah Papua untuk kuliah di luar negeri.  Sebagai contoh, PHLI (Papua Hope Language Institute) di Sentani, Kabupaten Jayapura, selama beberapa tahun menyiapkan OAP lulusan SMA/SMK dari berbagai tempat di Tanah Papua selama setahun, baik dalam hal Kompetensi Akademik dan Bahasa, Karakter, dan Keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Persiapan yang dilakukan paling tidak satu tahun itu telah menghasilkan lulusan PHLI telah terbukti berhasil dalam kuliah dengan nilai-nilai yang tinggi di perguruan tinggi di luar negeri.  Pendekatan yang sama bisa dipercayakan oleh LPDP/Pemda kepada lembaga-lembaga serupa PHLI untuk mempersiapkan para ASN Papua agar berhasil dalam pendidikan pasca sarjana di dalam dan di luar negeri.  Para ASN Papua sangat sedikit yang berhasil dalam seleksi memperoleh beasiswa LPDP karena tidak ada persiapan sebagaimana yang dikemukakan di atas.

Penutup
Pembangunan di Tanah Papua harus menjawab kebutuhan yang mendesak dan mencakup sebanyak mungkin OAP.  Hal-hal yang dikemukakan di atas menawarkan program-program yang apabila dilaksanakan dengan benar dan berintegritas akan memberikan dampak banyak OAP, khususnya mereka yang bermukim di kampung-kampung yang terpencil.  Jumlah mereka banyak, dan merekalah subjek yang sesungguhnya dari pembangunan di Tanah Papua.

_"Maka Aku akan menjawab, 'Ketika kalian tidak mau menolong salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, maka sebenarnya kalian tidak mau menolong Aku.'…” (Matius 25:45)_
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak