Oleh Abeth Mote
MENINJAU.COM - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan suatu wujud nyata dari demokrasi dan menjadi sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatan.Kedaulatan rakyat dapat diwujudkan dalam proses Pilkada untuk menentukan siapa yang harus menjalankan pemerintahan suatu wilayah. Dengan adanya Pilkada maka telah dilaksanakan kedaulatan rakyat sebagai perwujudan hak asas politik rakyat, selain itu dengan adanya Pilkada maka dapat melaksanakan pergantian pemerintahan secara aman, damai dan tertib, kemudian untuk menjamin kesinambungan pembangunan daerah.
Berlangsungnya pemilihan umum/pemilihan kepala daerah yang demokratis harus dapat menjamin pemilihan yang jujur, adil dan perlindungan bagi masyarakat yang memilih.Setiap masyarakat yang mengikuti pemilihan harus terhindar dari rasa ketakutan, penipuan dan berbagai praktek curang lainnya. Hal ini sesuai dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV pasal 28G bahwa di dalam negara demokrasi “Setiap orang berhak atas perlindungan dari pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” (Arraniri, 2015:23).9
Demokrasi di Indonesia merupakan demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat, yakni pemilihan dari tingkat kampung/desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pemerintah seluruhnya dipilih oleh rakyat secara langsung. Penetapan aturan ini dilandasi oleh adanya keinginan kuat pemerintah untuk mengembangkan sistem pemilihan yang lebih bersifat demokratis. Pemilihan Kepala Daerah merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat 4 dinyatakan bahwa “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pilkada di awal reformasi dilakukan atau dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Hal ini sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004. Menurut ketentuan dalam UU No.22 Tahun 1999 kepala daerah dipilih oleh DPRD, sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pemilihan Bupati langsung mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 dan hampir seluruh kabupaten yang ada di Indonesia telah melaksanakannya, kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan. Diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan mampu membawa perubahan bagi bangsa Indonesia dalam rangka mengagendakan reformasi secara demokrasi.
KPUD Nabire Abaikan, DPT PSU yang Sudah di Coklik
Proses pengumutan suara ulang (PSU) di Kabupaten Nabire telah dilaksanakan pada 28 Juli 2021. Dikuti tiga pasangan calon Bupati dan wakil Bupati Nabire , yakni; Yufinia Mote dan Muhhamad Darwis nomor urut satu Peroleh suara: 18.184, Mesak Magai dan Ismael Djanudin nomor urut dua peroleh suara 25.259, serta Drs. Fransiskus Xaverius Mote, M.Si dan Tabroni Bin M Cahya nomor urut tiga memperoleh suara 16.135. Total daftar pemilih tetap telah digunakan 59.578 suara.
Namun pada proses ini terdapat kekeliruan penyelenggara terutama Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juga kurangnya pengawasan secara ketat oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum Daerah (BAWASLU) Kabupaten Nabire, terkait soal pencocokan dan penelitian Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hal ini KPUD telah menyalahi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia nomor 17 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas peraturan komisi pemilihan umum nomor 2 tahun 2017 tentang pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota. KPUD Nabire tidak mengacu pada DP4 semester II Tahun 2020 justru KPUD menggunakan DPT versi KPUD sendiri sehingga terdapat daftar pemilih yang sangat bermasalah dari sebelumnya.
Dari hasil kajian penulis telah menemukan DTP bermasalah pada pemilihan Bupati dan wakil Bupati Nabire Provinsi Papua sekitar 45.842 berdomisi di RT .0. Adapula DPT orang sudah meningga Dunia, DPT pemilih dibawah Umur, dan DPT ganti. Hampir di 304 TPS yang tersebar pada Pilkada Kabupaten Nabire yang telah dilaksanakan pada 28 Juli 2021.
Sebelumnya PPDP sudah melakukan pencocokan dan penelitian DPT namun DPT hasil pencoklikan tidak digunakan oleh KPUD saat pencoblokan justru KPUD terkesan mengabaikan. Kenyataan kecurangan tersistematik ini telah merusak reputasi demokrasi Republik Indonesia. Seakan otoritas negara telah tak memberikan perhatihan serta merugikan uang negara hanya karena KPUD Nabire tidak menggunakan DPT yang telah di coklik sesuai Amanah UUD 1945.
Pentingnya upaya pembenahan DPT Kabupaten Nabire adalah proses yang urgens namun perlu ada revitalisasi kinerja penyelenggaran serta perlu ada suvervisi dari penyelenggaran tingkat Provinsi untuk proses demokrasi pilkada Nabire dapat berjalan sesuai konstitusional yang benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi di negara bhineka tunggal Ika.
Pokok pertimbangan oleh pihak yang berwenang untuk menyikapi pilkada Nabire sangat perlu sekali agar proses pembangunan di kabupaten Nabire daapt dilaksankan oleh Bupati dan wakil Bupati terpilih seketika DPT yang bermasalah dapat di perbaiki sesuai perintah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Sudah sangat ironis dengan tindakan KPUD Nabire yang telah merusak reputasi demorasi secara masif. Dinamika politik pratis ini sangat disayang dengan sikap KPUD Nabire yang tidak professional menjalahkan Amanah sesuai konstitusi.
Penulis adalah seorang pengamat sosial dan politik
Social Header