Breaking News

POHR Mendukung Christensen Jadi Mediator Dialog Konflik Papua-Indonesia

Oleh: Thomas Ch. Syufi 

 

S

aya pikir ini merupakan momentum paling tepat bagi pemerintah Indonesia dan rakyat Papua untuk mencari solusi perdamaian bagi Papua, dengan  munculnya keinginan dari Juha Christensen, seorang mediator berpengalaman dalam perundingan damai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia untuk menjadi mediator konflik Papua.  Ini merupakan embusan angin segar perdamaian untuk kebaikan pada martabat kemanusiaan dan keindonesiaan yang harusdi respon dengan arif dan bijak oleh pemerintah Indonesia.

Saya pikir Juha Christensen merupakah salah satu aktor kunci bersama mantan Presiden Finlandia dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian Martti Ahtisaari yang sukses memediasi konflik Aceh yang melalui Perjanjian Helsinki, 15 Agustus 2005. Dia memuliki reputasi dan kredibilitas global yang baik dalam ikut menyelesaikan berbagai konflik, baik di negara-negara Balkan, termasuk perdamaian GAM dan pemerintah Indonesia.  Christensen menawarkan  bantuna sebagai mendiator konflik Papua ini  telah disampaikan kepada Menteri Koordinator bidang Hukum,  HAM, dan Pemasyaratakan RI Yusril Ihza Mahendra pada 22 Januari 2022.

Saya pikir pemerintah Indonesia harus menggubris dan menseriusi ini, dengan cepat dan menetapakan langkah-langkah kerja konkret dalam penyelesaikan konflik Papua melalui dialog, yang melibatkan kedua pihak yang berkonflik, yaitu rakyat Papua yang diwakili oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) atau United Liberation Movement for West Papua (ILMWP).  Dalam proses ini bisa dipercayakan sepenuhnya kepada seorang mediator untuk mengatur segala rule of game atau aturan main  dialog   dengan tetap dalam supervisi kedua pihak yang berkonflik, Papua dan Jakarta. Saya berharap kelompok pro-kemerdekaan Papua maupun pemerintah pusat di Jakarta jangan mengulur-ulur waktu untuk berunding dan berdialog untuk perdamaian Papua. Perdamaian dan keadilan tidak bisa ditunda, semua umat manusia, termasuk Papua memiliki hak mutlak untuk mendapapatakan dan menikmati keadilan dan perdamaian dengan cara kemanusiaan mereka harus dilindungi, dihormati, dan dipenuhi oleh semua pihak, terutama negara. Jangan lagi mengulur-ulur waktu lagi bagi penyelesaian konflik Papua yang sudah merenggut ratusan ribu nyawa rakyat Papua sejak awal tahun 1960-an sampai sekarang.

Kita baru menyaksikan di bulan pertama tahun 2025 dalam rentan waktu sekitar 2 minggu dua anggota polisi Indonesia mati tertembak di daerah Papua Pegunungan oleh  pelaku yang didiuga TPNPB-OPM. Bahkan sebelumnya, Komnas HAM RI mencatat bahwa 71 orang tewas akibat kekerasan selama tahun 2024 di Papua.  Dari puluhan kasus kekerasan ini ada 114 orang menjadi korban, 71 orang tewas dan 40 orang di antaranya warga sipil, 15 aparat keamanan meninggal dunia, 15 orang sipil bersenjata meninggal, serta satu warga negara asing meninggal. Saya pikir ini menjadi lembara buram bagi proses keadilan dan kemanusiaan di Papua. Konflik Papua begitu awet dan sengaja dibiarkan begitu lama dalam proses penyelesaian, korban terus berjatuhan, darah dan kematian menjadi peristiwa harian yang terus mengiringi sejarah hidup dan jalan kebagiaan orang Papua. Ini merupakan memori buruk bagi orang Papua yang tidak bisa lagi untuk dibiarkan larut begitu lama.

Kasus pelanggaran HAM yang selama ini dilakukan oleh negara melalui aparat TNI-Polri jarang sekali diproses secara adil dan benar sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan tidak pernah diseret ke pengadilan HAM, semua diselesaikan melalui peradilan umum dan peradilan militer yang diargukan integritas peradilannya. Bahkan sebagian pelaku pelanggar HAM hanya diberi sanksi ringan dengan ganjaran demosi, sebagian besar mendapatkan umpunitas dan promosi dari perbuatan jahat mereka. Inilah menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat Papua, termasuk masyarakat internasional terhap pemerintah Indonesia atas ketidakmampuannya dalam menyelesaikan konflik dan pelanggaran HAM di Papua.

Kasus HAM di Papua terus menjadi sorotakan masyarakat internasional, namun pemerintah belum memiliki niat tulus menyelesaikannya. Kepercayaan masyarakat internasional untuk pemerintah Indonesia dalam penyelesaikan konflik dan pelanggaran HAM Papua berada pada titik nadir, anjlok. Bahkan, konflik dan pelanggaran HAM Papua baru saja dipertanyakan oleh para tokoh politik internasional kepada pemerintah Indonesia. Yaitu, Delegasi Pemerintah Kerajaan Inggris yang dipimpin Catherine West MP selaku Parliamentary Under-Secretary of State at the Foreign, Commonwealth and Development Office dan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Dominic Jermey, melalui Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra di Kantor Menko Kumham Imipas, Jakarta, Senin, 20 Januari 2025.

Dalam pertemuan itu, pemerintah Inggris melalui Dubes Dominic mempertanyakan soal kebijakan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto terhadap konflik dan pelanggaran HAM Papua. Pertanyaan itu berangkat dari informasi dan laporan yang diapatkan oleh pemerintah Inggris, bahkan kerap terus digaungkan oleh para anggota Parlemen Inggris. Saya pikir apa yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia itu, perlu direspos secara jujur dan objektif oleh pemerintah Indonesia. Jangan ditanggapi dengan cara-cara diplomatis yang bisa menimbulkan kecurigaan dari pejabat asing bahwa pemerintah Indonesia sepertinya lalai dan sengaja tidak mau menyelesaikan fakta pelanggaran HAM dan konflik di Papua melalui cara-cara damai, justru berupaya melakukan distorsi dan amnesia terhadap memoria passionis rakyat Papua.

Dan anggapan pemerintah Indonesia bahwa konflik Papua merupakan hal yang minor dan remeh temah adalah sebuah ikhtiar pembiaran terhadap pelanggaran HAM dan konflik di Papua. Pemerintah Indonesia mensimplikasi konflik Papua dengan cara pandang Jakarta, hingga kekerasan dan kematian terus berjatuhan di Tanah Papua. Saya pemistis rencana pemerintah yang lamban dan menunjukkan riak-riak ketidakpastian dalam menyelesaikan permasalahan Papua melalui pendekatan hukum dan HAM yang terukur. Rencana pemberian amnesti dan abolisi terhadap para aktivis atau tahanan politik Papua saja tak kunjung terealisasi, masih mengkristal pada tataran retorika, belum pada tahap implementasi. Bahkan, saya juga skeptis bahwa pemberian amnesti dan abolisi terhadap tahanan politik Papua tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Berangkat dari pengalaman sebelumnya, di mana Presiden Jokowi memberi grasi kepada lima tahanan politik Papua, termasuk Filep Karma dari Lapas Abepura, Jayapura, Papua pada tahun 2015, tidak pernah mende-eskaliasi konflik Papua, justru eskalasi kekerasan terus terjadi, Papua menjadi runyam dan korban terus berjatuhan dan darah bercucuran di mna-mana akibat kekerasan yang dilakukan antara TNI-Polri dan TPNPB-OPM. Karena itu, tawaran dialog menjadi cara paling efektif dan bermartabat yang like or dislike harus disetujui oleh pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik Papua seperti konflik Aceh pada 2005 silam. Hanya dengan jalan dialog, mata rantai kekerasan dan litani kematian di Tanah Papua dapat diakhiri; perdamaian dapat terwujud, martabat kemanusiaan dihormati dan terlindungi, dan kesejahteraan rakyat bisa dioperasikan dan dinikmati oleh masyarakat Papua.   

 Penulis adalah Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR)

 

📱Simak berita terbaru pilihan kami langsung di ponselmu. Akses melalui www.meninjau.com. Apabila ada kritik saran dan masukan atas berita yang kami tayang bisa melakukan koreksi atau hak jawab sesuai aturan kode etik UU Pers. Melalui 📨Email : meninjaucermin@gmail.com
© Copyright 2022 - MENINJAU.COM