Evaluasi Draf UU Otsus Papua dan Papua Barat Oleh Pemerintah Pusat


Oleh: Ustadz Ismail Asso*

Pemerintah Pusat Melakukan Kejahatan Konstitusional Terhadap Rakyat Papua Melalui Apa Yang Oleh MENDAGRI Usul Sebagai Evaluasi UU Otsus Melalui DPR RI

Rancangan Evaluasi Perubahan UU Otsus soal Penambahan Anggaran Keungan dan Pemekaran Wliayah atau Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua dan Papua Barat menjadi 5 Propinsi DOP bukan saja suatu tindakan kejahatan Mendagri dan DPR RI melainkan sudah salah prosedur karena inkonstitusional. 

Hal itu bertentangan dengan UU Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua dan Papua Barat yang mengatur soal kewenangan usulan perubahan UU Otsus Papua dan Papua Barat datangnya harus dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan MRP PB.

Jika Mendagri dan DPR RI memaksakan kehendak melakukan evaluasi perubahan UU Otsus Jilid II tanpa persetujuan MRP dan MRPB adalah tindakan inkonstitusional karena memaksakan kehendak diri secara sepihak oleh Pemerintah Pusat merupakan suatu kejahatan sistematis karena dilandasi niat jahat oleh oknum pejabat negara (Mendagri?) yang berdampak buruk bagi rakyat Papua dan Papua Barat. 

Betapa hal itu tidak dapat dikatakan suatu tindakan kejahatan dan busuk? Coba Anda bayangkan fakta berikut ini. 

"Gubernur Papua, Lukas Enembe pada 22 Februari 2021 mengadakan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. 

Dan pada 24 Februari 2021 gubernur Papua, Lukas Enembe pertemuan dengan Presiden Indonesia Joko Widodo:

Pada kesempatan pertemuan ini Gubernur Papua Lukas Enembe menegaskan:

1. TOLAK Pemekaran Daerah Otonomi Baru di provinsi Papua. Semua usulan pemekaran kabupaten dan provinsi di Kabupaten HARUS dari rakyat Papua melalui MRP, DPRP dan disetujui Gubernur Papua. 

2. Evalusi Otonomi Khusus harus dilakukan rakyat Papua melalu Majelis Rakyat Papua (MRP) dan semua proses di Jakarta sepihak harus dihentikan karena melawan undang-undang negara dan bertentangan undang-undang Otonomi Khusus. 

3. Perilaku Jakarta sudah melawan Pasal 76 dan Pasal 77 Undang-undang Otonomi Khusus.

4. Mengapa Otonomi Khusus Plus diajukan tidak pernah diakomodir dan dibahas? “

(Gembala Dr. Socratez Yomhhan). Ita Wakhu Purom, Kamis, 4 Maret 2021.

Evaluasi UU Otsus Oleh Pemerintah Pusat Suatu Kejahatan Konstitusional

Karena terselip didalamnya mengandung suatu sistem kejahatan terselubung. Betapa tidak jahat? Pertama, kewenangan Evaluasi sesuai pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua oleh Jakarta langsung ditabrak. 

Kedua, coba anda bayangkan persoalan Papua bukan sebatas UU Otsus 20 tahun pertama gagal total melainkan mekanisme dan cara Pemerintah Pusat mau memgambil alih wewenang usulan dan evaluasi UU Otsus Papua dengan melawan UU Otsus Pasal 76 dan 77 yang mengatur soal kewenangan Usulan Perubahan itu harusnya sesuai UU Otsus Papua dan Papua Barat datangnya dari rakyat Papua melalui mekanisme MRP dan MRPB bukan oleh Pemerintah Pusat. 

Dampak Daerah Otonomi Baru (DOB) bagi Orang Asli Papua Genosida (Pemusnahan Etnis). Karena jumlah penduduk Papua kurang dari satu (1) juta jiwa, maka ini sama artinya Pemerintah Pusat membawa masuk penduduk baru dari penduduk padat Pulau lain Indonesia seperti penduduk Jawa dan Supawesi mau dipindahkan ke Papua. Tak hanya transmigrasi terselubung tapi konsekuensi Daerah Otonomi Baru (DOB) memungkinkan penambahan jumlah Penduduk non Papua beragama Islam, jumlah tempat Ibadah akan bermunculan ditanah Mayoritas Kristen, pengadaan Kodim, Koramil, Polda, Polres dan Polsek akan membahayakan bagi Orang Asli Papua dalam kasawan genosida (pemusnahan etnis Melanesia) secara lamgsung.

UU Otsus Adalah UU Negative Karena Pemerintah Menyogok Papua

Dasar utama dan alasan pertama UU Otonomi Khusus Papua bagi Papua sebagai kompromi jalan tengah antara Papua dan Jakarta bermula tekad bulat akan keinginan seluruh rakyat Papua memisahkan diri berdiri berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan negera Papua merdeka. Dan itu dinyatakan secara bulat melalui Kongres Rakyat Papua ke II di GOR Jayapura tahun 1999, dengan menyatakan diri keluar dari NKRI untuk berdulat penuh (merdeka).

Maka datanglah tawaran UU Otonomi Khusus bagi Papua kala itu oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus-Dur) dengan konsep Otonomi Khusus sebagai jalan tengah. Namun demikian pada akhirnya seperti disebut Profesor Dr Rocky Gerung, seorang Profesor filsafat menyebut bahwa UU Otsus adalah “Paket Pemerintah Pusat Menyogok Papua”. Dengan demikian dua Pasal yakni UU Perimbangan Keuangan dan Pemekaran Propinsi Papua saat ini mau dibahas oleh DPR RI di Senayan diketuai Komaruddin Watubun, tidak lain tidak bukan bertujuan untuk “menyogok” lagi dan itu dipaksakan pada rakyat Papua adalah sesungguhnya semacam Paket UU Sogokan Pemerintah bagi rakyat Papua.

Mau membenarkan diri dari sudut manapun pembenaran sebagai alasan kebenaran keberhasilan UU Otsus Papua oleh Pemerintah Pusat sama sekali sudah (telah) tak dibenarkan oleh seluruh lembaga resmi pemerintah dan non pemerintah Indonesia sendiri mulai dari Pemerintah Propinsi Papua dan Papua Barat (Gubernur Papua dan Papua Barat, DPRP-PB, MRP-PB, Para Bupati dan Walikota) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Ormas Agama Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) se-Propinsi Papua/Barat, Seluruh LSM, Para Tokoh Adat dan Agama se-Tanah Papua dan Papua Barat, para pakar dan pengamat, peneliti seluruhnya sudah mengatakan dengan jelas, dan berterus-terang dengan sangat terang benderang bahwa Otonomi Khusus Papua selama 20 tahun kurang telah gagal total. 

Bahkan pihak Pemerintah Pusat sendiri mengakui bahwa Otonomi Khusus Papua gagal total dengan meninggalkan jejak uang Otsus puluhan Trilyun rupiah sudah dikucurkan hasilnya hanya menempatkan Propinsi Papua dan Papua Barat sebagai Propinsi paling termiskin dan terbelakang dibawah Propinsi NTT dan Maluku se-Indonesia dalam laporan resmi Pusat Statistik Nasional (BPN) tahun 2021.

Evaluasi Draf UU Otsus Hanya Dua Pasal

Rancangan UU Otsus Jilid II yang drafnya hanya dua Pasal yakni UU Perimbangan Keuangan dan Daerah Otonomi Baru (DOB)  atau Pemekaran Propinsi Papua/Barat, yang dibahas oleh DPR RI di Senayan Jakarta menunjukkan Pemerintah Indonesia sedang mengalami kepanikan karena mengalami akal buntu alias tidak mampu lagi memiliki konsep lain selain ngotot tanpa malu untuk kembali memaksakan kegagalan kali kedua dan seterusnya yang akhirnya persoalan politik, hukum, sosial, budaya dan ekonomi Papua tidak selesai terus menerus sampai kapan?

Solusi Lain Selain Otsus?

Selain Otsus solusi lain bagi Papua tak lain tak bukan adalah pengakuan Kedaulatan Papua kalau akhirnya terpaksa Otonomi seperti Aceh. Inilah jalan terakhir bagi Pemerintah Indonesia bagi penyelesaian konflik Politik di Papua untuk mengakhiri konflik sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya dan agama bagi rakyat Papua.

Maka mau tidak mau, terpaksa atau dipaksa, pada akhirnya tidak ada jalan lain selain pengakuan kemerdekaan bagi bangsa Papua adalah jalan terakhir dan satu-satunya solusi permanen bagi Propinsi Papua untuk mengakhiri seluruh peristiwa mengerikan pembantaian Orang Asli Papua (OAP) dan perampokan penindasan harkat martabat kemanusia manusia Papua sesuai Pancasila Sila Ke-2 yakni “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dan Pembukaan UUD 45 bahwa Penjajahan dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pri Keadilan dan Pri Kemanusiaan.

Otonomi Khusus Jilid II Solusi Akal Buntu Pemerintah Pusat

Pertanyaannya adakah orang asli Papua menyetujui paket UU Otsus Jilid II yang sedang dibahas di DPR RI Senayan Jakarta yang keterlibatannya umumnya para Anggota Dewan Dapil Papua itu?
Jawabannya ada tapi (ada tapinya).

Siapa mereka yang setuju tapi malu-malu? Atau menolak Otsus tapi mau tidak mau terima Otsus Jilid II itu? Mereka itu siapa lagi kalau bukan para pejabat dari Orang Asli Papua (OAP) yang selama ini sebagai pengguna dana Otsus menikmati berbagai fasilitas mewah negara dari uang puluhan trilyun rupiah dana Otsus mereka hidup bergelimpang kemewahan diatas darah dan air mata (penderitaan rakyat Papua) sudah tentu menyetujui dengan diam yang punya rasa malu tapi yang sudah tidak punya rasa malu secara terang-terangan maju kedepan bersorak-sorai meneriakkan yel-yel nasionalisme Ke-Indonesia-an sambil membentangkan simbol Bendera Merah Putih, Burung Garuda didadaku, lalu NKRI harga mati dan seterusnya agar dianggap patriot sejati NKRI dalam penuh nuansa hipokriktisme mereka sebagai tanda persetujuan mereka menerima solusi akal buntu Pemerintah Pusat.

Mungkin lebih tepat disini penulis katakan memalukan. Kenapa memalukan? Karena ini benar-benar sangat memalukan kalau bukan suatu kebijakan kejahatan negara terhadap Rakyat Papua dan Papua Barat. Pemerintah Pusat buat UU tapi apa yang mereka buat dilanggar sendiri. Kalau bukan suatu kejahatan mau bilang Mengapa tidak? Coba Anda bayangkan Ya benar Pemerintah Pusat sudah tidak punya rasa malu. Otsus Solusi Akal Busuk Segelintir Oknum Pejabat Pemerintah Pusat. 


SOLUSI PERMANEN MENGAKHIRI KONFLIK PAPUA HANYA DUA OPSI DIALOG ATAU REFERENDUM

Setelah seluruh elemen dan Pemerintah Propinsi Papua menolak Otsus. Maka sesungguhnya kalau mau jujur Presiden Jokowi dan Kabinetnya kini hanya menyisakan dua pilihan. Opsi ini kalau Indonesia memang benar-benar dan secara sungguh-sungguh ingin mengakhiri konflik berkelanjutan di Papua. 

Opsi itu adalah Dialog dan Fererendum.
Pertama, Dialog. Usulan dialog bukan gagasan baru, Almarhum mendiang, Pater Dr Neles Tebay, melalui Jarigan Damai Papua (JDP), sudah lama menggagas pentingnya pendekatan penyelesaian berbagai konflik persoalan Papua melalui jalan dialog. Sampai akhir wafatnya gagasan ini selalu ditampik Jakarta.

Pendekatan yang selalu diutamakan Jakarta selalu pendekatan pembangunan dan mengerahkan kekuatan militer. Puluhan nyawa baik aparat militer maupun TPNPB dan mahasiswa Papua menjadi saksi bahwa pendekatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan selalu gagal memakmurkan rakyat Papua yang Sumber Daya Alamnya kaya raya dan pendekatan militer selalu dan selamanya gagal total.

Kini menyisakan satu lagi dari dua pilihan pendekatan lagi yakni referendum atau jajak pendapat. Gagasan ini bukan gagasan baru tapi Indonesia punya pengalaman di Timor Leste yang hasilnya Indonesia kalah multak.

Mendengar kata referendum banyak pihak alergi padahal pendekatn ini sesungguhnya lebih menjajikan kepastian terlaksananya demokrasi bagi Wilayah Papua guna memgakhiri konflik bersenjata tanpa berkesudahan itu. Bahkan konon banyak saksi hidup memgatakan sejak dini proses PEPERA Tahun 1963 dilaksanakan dibawah ancaman moncong senjata dan protes orang Papua terus muncul tanpa berkesudahan mempersoalkannya. Sekalipun pada akhirnya resolusi PBB menerima hasil PEPERA 8 tahun kemudian yakni tahun 1971 bahwa Papua sebagai bagian Indonesia.

 Dari dua pendekatan ini yang paling mungkin karena akan lebih menjamin proses demokratisasi bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi penganut demokrasi Pancasila. Maka sesungguhnya tidak ada solusi lain kecuali hanya menyisakan dua opsi pendekatan ini dapat mengakhiri seluruh rangkaian kekerasan demi kekersan di Papua sebagai solusi terakhir secara permanen mengakhiri konflik.

Tinggal kini keberanian Presiden Jokowi seperti Gus-Dur dan Habibie mau pakai pola mana. Pola Aceh berarti pendekatannya dialog melibatkan pihak ketiga negara lain sebagai penengah (wasit). Atau pola kedua, yaitu pola Timor Leste yang akhirnya Timor Timur merdeka.

Ini hanya masukan baik atau tidak tergantung dari sudut pandang mana boleh jadi kita berbeda memandangnya tapi tiada jalan lain selain opsi perdamaian pola Aceh atau pola Timor Leste dengan referendum.

Kalau kembali Otsus rasa-rasanya skeptis malah tidak percaya akan sanggup dapat mengakhiri konflik berkepenjangan Papua kecuali solusi tipu-tipu silahkan, disini saya hanya membuka pikiran jalan lain menuju solusi permanen konflik Papua. Mungkin bagi kebanyakan orang ini pioihan gila tapi ini memang pilihannya untuk solusi permanen bagi Papua karena dua opsi ini bukan hal yang baru dan pertama bagi Indonesia bukan? 

Ustadz Ismail Asso Adalah*

1. Pendiri Pondok Pesantren Al Hidayah Firdaus Asso Koya Koso Jayapura (2013)
2. dan Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua (2012-2021)
3. Anggota Forum Senior dan Millenial Papua (2021)
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak