Rasisme Merupakan Tanda Degradasi Moral Bangsa


By Amoye Pekei 

Nilai, Persepsi dan Stereotip

Setiap kita mempunyai penilaian - penilaian baik dan buruk. Penilaian itu dapat menetukan bentuk respon kita dari apa yang tampak di depan mata kita. Respon ini turut membentuk persepsi setiap orang.

Persepsi kita muncul dari kepercayaan terhadap sesuatu hal atau seseorang, sehingga persepsi kita turut menentukan penerimaan kita terhadap orang lain. Orang itu kaya atau miskin, kuat dan lemah, kasar dan lembut, baik dan buruk merupakan persepsi.

Persepsi itu berhubungan dengan kepercayaan. Persepai itu erat dengan ideologi. Ideologi menjurus kepada aliran - aliran kepercayaan yang telah melembaga dalam pribadi setiap orang. Itulah hakekat nilai dari suatu kepercayaan yang akan menentukan dasar kualitas moral kita.

Egosentris, Etnosentris dan Rasisme

Strategi rasisme sering digunakan oleh para penguasa yang menganggab dirinya berkuasa, akibat sikap egosentris yang membentuk etnosentris. Ini adalah senjata pembunuh saat ini yang jika dibiarkan akan membunuh kelompok minoritas yang lemah. 

Dua tahun terakhir ini kita masi diperhadapkan dengan isu rasisme. Rasisme adalah suatu pandangan tentang pembedaan atas dasar ras atau warna kulit. Dalam ilmu sosial rasisme merupakan unsur dari stuktur sosial yang membedakan atau mengelompokan orang - orang dalam perbedaan ras, agama atau golongan ( diferensiasi sosial ). Selain diferensiasi ada juga istilah stratifikasi sosial pembedaan orang ke dalam tingkatan kelas atas dan kelas bawa.

Dua bagian dari struktur ini bisa melahirkan stratifikasi sosial yang sering memunculkan kesenjangan dan diferensiasi sosial yang sering menghasilkan konflik sosial.  Dalam negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa Sering terjadi gesekan akibat adanya stuktur sosial. Acapkali konflik sosial terjadi karena pola - pola kepercayaan dalam setiap orang dalam sistem sosialnya masing - masing.

Kepercayaan akan sistem sosialnya sering memunculkan tumbubnya sikap penerimaan diri lebih kuat  terhadap kelompok sukunya. Pandangan kepercayaan atas sukunya lebih penting merupakn suatu sikap dari etnosentris yang merupakan bagian dari diferensiasi.

Sikap etnosentris yang berlebihan tanpa menghargai suku lain dalam suatu diferensiasi itu akan menumbuhkan benih konflik yang secara tidak langsung tanpa disadari suda tercipta. Senjata konflik itu adalah stereotip. Misalnya ejekan - ejekan terhadap kelompok lain yang mengarah kepada sikap menyerang kelompok lain.

Pada tingkatan tertentu sikap stereotipe itu telah menyerang orang lain karena sikap ini telah membentuk diri kita untuk tidak mau menerima langsung akibat adanya cap buruk terhadap keberadaan orang lain.

Orang cina itu kaya padahal ada yang miskin, orang Papua itu hitam padahal ada yang putih, orang Barat itu pintar padahal ada yang bodok dan cap - cap yang mengkategorikan orang - orang dalam penggolongan tertentu. Penilaian seperti ini disebut dengan stereotip. Stereotip yang telah membudaya adalah diakriminasi. Dalam tulisan saya tentang diskriminasi saya menyebutkan penyakit dapat membunuh tubuh, tetapi diskriminasi dapat membunuh jiwa. Kedua duanya turut mematikan.

Rasisme dan Diskriminasi

Jika rasisme adalah senjatanya maka diskriminasi adalah peluruhnya. Banyak kekejaman para penjajah dalam sejarah dunia untuk mengalahkan musuhnya dengan dua cara selain menyerang dengan senjata,  banyak cara juga yang menggunakan cara memberikan cap buruk. 

Hal ini dilakukan untuk meruntuhkan ideologi lawan dengan cara shok therapy menghancurkan kepercayaan diri lawan agar pikirannya ditawan. Siasat ini sering terselubung. Sala satu cara dalam melakukan penyerangan stereotip adalah dengan cara penghinaan - penghinaan terhadap lawan termasuk juga tindakan rasisme. 

Mengikuti perkembangan konflik akibat ras beberapa tahun terkahir dapat ditarik pelajaran bahwa rasisme juga merupakan senjata yang masi digunakan orang yang mengganggab diri berkuasa untuk mempertahankan kelompoknya atau ideologinya agar tetap berkuasa.

Cara - cara menyelesaikan masalah dengan menerapkan manajemen konflik, pengkondisian, strategi adu domba merupakan cara yang lasim digunakan untuk menunjukan kelompok yang berkuasa. Cara seperti ini telaj terbukti tidak akan menyelesaikan konflik karena pihak berkuasa masih menganggap diri lebih benar dan pihak lemah juga merasa masi benar. Kita ketahui bahwa suatu konflik itu berkembang ketika setiap kepentingan tidak didudukan sejajar dalam menyelesaikan akar masalah konflik tersebut.

Pendekatan Terstruktur dan Sistematis Mengelolah Potensi Konflik Sosial di Indonesia.

Keadaan Indonesia saat ini, mulai bertimbuhnya kelompok Rasisme (Banser), Teroris, Radikalisme, Kelompok Intoleransi yang merupakan potensi konflik sosial telah melembaga dalam struktur sosial. Sehingga pola - pola penangannanyanpun harus terstruktur.  Indonesia adalah wilayah rawan bencana alam, tetapi juga rawan bencana atau konflik sosial. 

Dalam merespon bencana alam, Negara melalui BNPB telah menanganinya. Sistemnya suda cukup terstuktur dalam perencanan mitigasi nasional dengan sistem kolaborasi. Idealnya juga ada mekanisme yang dibagun untuk merespon bencana - bencana sosial dan mengurangi potensi -  potensi  konflik sosial di tengah - tengah masyarakat. Misalnya dalam menangani kasus terorisme dengan pendekatan lebih manusiawi, menangani kelompok radikalisme lebih baik. Menangani perang suku, konflik agama yang mungkin saja bisa bertumbuh. 

Hal penting juga perlu dibagun mekanisme yang baik dan manusiawi dalam menghadapi perilaku rasis antara suku yang telah membudaya yang acapkali dilontarkan kepada orang lain sebagai pemicu konflik. Suda banyak pelajaran yang dipetik dari setiap kejadian di sekitar kita. 

Posisi negara dalam merespon setiap konflik sosial adalah mengayomi dan menetralisasikan persoalan dengan cara mendudukan masalah bersama dan memutuskan. Upaya membangun persepsi dari negara harus dikonkritkan dengan kerja - kerja kelembagaan yang jelas untuk menangani konflik sosial tersebut dalam jangka waktu yang panjang karena berhubungan dengan perubahan perilaku imoral bangsa.

Upaya lain bagi setiap orang dalam meghadapi masalah rasisme dan potensi konflik adalah membentengi diri kita dengan kemampuan menerima semua serangan stereotipe dalam bentuk rasisme dengan sikap positif. Upaya ini agar ketika kita berhadapan dengan serangan rasisme kita dapat merespon dengan penangkalan serangan itu dengan nilai - nilai yang positif. Bentuk respon kita yang diserang atau menjadi korban adalah melalui hukum positif atau kampanye anti rasisme, anti radikalisme, atau anti intoleransi dan lain lainnya.

Kesimpulan

Pancasila adalah nilai pemersatu suku bangsa di Indonesia sebagai dasar moral bangsa. Tetapi apalah gunanya nilai itu menjadi dasar tetapi ada saja ketidakadilan sosial, perlakuan salah (diskriminasi) terhadap ras, suku atau agama tertentu.

Satu dekade terakhir kita telah melihat masalah ketidak adilan sosial  di Indonesia adalah bentuk dari semakin berkuasanya Negara, disisi lain rakyatnya masi melarat tidak berkuasa ada kesenjangan antar daerah yang memberikan lahan tumbuh suburnya konflik sosial itu berkembang di negeri yang berbineka tunggal ika ( berdiferensiasi).

Ketidakadilan sosial dan berbagai konflik sosial itu muncul adalah tanda melemahnya moral bangsa. Jika nilai - nilai dasar tidak menjadi corong bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ancaman rasisme, radikalisme, intoleransi, terorisme akan melewati jalan Tol. Ketika masalah ini tidak direspon dengan baik, maka kita akan mengalami masalah utamanya yaitu disintegrasi bangsa.
Ads1

BERITA

Ads2